KONFLIK


Konflik (Robbins, 2007)

      Proses yang bermula ketika suatu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, dan menimbulkan masalah bagi pihak pertama

Pandangan-Pandangan Konflik

      Pandangan Tradisional, pandangan yang menganggap bahwa semua konflik itu negatif, berkonotasi tidak baik, dan buruk.

      Pandangan Hubungan Manusia, pandangan yang menyatakan bahwa konflik itu merupakan hal yang wajar dalam sebuah kelompok atau organisasi

      Pandangan Interaksionis, pandangan ini mengungkapkan bahwa konflik itu dibutuhkan (dengan level dan kadar tertentu) untuk organisasi bisa menjadi kritis, kreatif, dan survive, namun tidak semua konflik adalah baik.

 

Konflik Fungsional

Konflik Disfungsional

Definisi

     Konflik yang mendukung sasaran  kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok

     Konflik yang menghambat kelompok

Sifat

Konstruktif

Destruktif

Jenis konflik

Konflik tugas, konflik proses

Konflik hubungan

Level  konflik

Rendah sampai sedang

Tinggi

Konflik Tugas        : konflik atas isi dan sasaran pekerjaan
Konflik Hubungan : konflik berdasarkan hubungan interpersonal
Konflik Proses        : konflik atas cara dalam melakukan pekerjaan

 

Proses Konflik

      Potensi oposisi atau ketidakcocokan, Kondisi ini dapat dibagi menjadi tiga kategori : variabel komunikasi, struktur, pribadi.

      Kognisi dan personalisasi, tahap yang dapat mendorong ke arah konflik apabila salah satu pihak atau lebih, dipengaruhi oleh pihak lain dan sadar akan adanya konflik itu sendiri

      Maksud (niat), lima variabel yang membantu mengidentifikasi maksud penanganan konflik, yaitu persaingan (tegas dan tidak kooperatif), kolaborasi (tegas dan kooperatif), penghindaran (tidak tegas dan tidak kooperatif), akomodasi (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromi (kisaran tengah antara ketegasan dan kekooperatifan)

      Perilaku, Pada tahap ini, konflik tampak semakin nyata. Tahap ini mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat oleh bihak-pihak yang berkonflik.

      Hasil,  Tahap ini merupakan tahap dimana pihak yang berkonflik menghasilkan suatu aksi-reaksi dan konsekuensi (hasil).


Referensi:

Robbins, S.P., Judge, T.A. (2007). Perilaku Organisasi/Organizational Behavior. Cet. ke-12. Jakarta:Salemba Empat/NJ:Pearson Education Inc.


Pupuk Penderitaan


Apa yang ada di benak Anda saat mendengar istilah tersebut? Mungkin Anda penasaran bagaimana cara mendefenisikan istilah tersebut.
Saya mencoba untuk menjelaskan dengan bahasa saya sendiri. Mungkin agak berantakan, jadi mohon dimaklumi.
Kemarin saya melakukan tugas yang tidak biasa, saya berkutat di suatu tempat (tempat kerja saya, bukan kantor juga namanya) dari mulai jam 10 sampai jam 7 malam. Meskipun telah selam itu bekerja, pekerjaan sya belum fix 100%. But no problem. Selesai bekerja, badan saya serasa remuk semua. Ga enak banget. Semua terasa pegal-pegal.
Sesampainya di kost saya langsung mandi untuk menyegarkan diri. Sesudah itu saya menyetel tv dan mendapati sebuah acara talk show mengenai motivasi di salah satu televisi swasta. Temanya mengenai Pupuk Penderitaan dengan narasumber yang sangat “anggun” (istilah si naarasumber dalam menilai orang yang teguh dan bersyukur dalam penderitaanya).
Dimulai dari apa itu Pupuk Penderitaan? Sang narasumber menjelaskan bahwa Pupuk Penderitaan itu hakekatnya sama dengan pupuk pada umumnya. Dimana yang namanya pupuk itu adalah penyubur tanaman namun kotor. Bahannya adalah bahan-bahan yang dianggap kotor oleh manusia dan tidak dipakai oleh manusia. Seperti contohnya pupuk kandang, biogas, dan sebagainya. Namun, dari bahan-bahan yang seperti itulah tanaman bisa tumbuh dengan bagus dan menghasilkan buah yang baik. Seperti halnya juga pada pemeliharaan ikan lele. Sedangkan penderitaan adalah segala cobaan dan ujian yang kita hadapi selama kita hidup (yang biasanya ga enak dan menyakitkan).
Jadi Pupuk Penderitaan adalah segala cobaan, ujian, dan masalah yang dihadapi dihadapi oleh manusia yang menjadi bahan untuk manusia menjadi “subur” (baca kuat dan positif) dalam menjalani hidup. Jadi, pupuk penderitaan itu menyuburkan manusia dan melatih manusia untuk semakin lebih matang dan dewasa dalam menjalani hudupnya.
Selama ini banyak orang yang memaknai penderitaan sebagai sesuatu yang negative dan merasa bahwa dirinya memiliki banyak masalah dan kemudian akhirnya menyalahkan berbagai pihak termasuk “semesta” (baca: Tuhan). Pemahaman seperti ini harus diubah. Seperti penjelasan di atas tadi, mari kita menyatukan defenisi mengenai pemaknaan atas penderitaan. Mari kita memaknai penderitaan tersebut sebagai “pupuk” bagi hidup kita, dimana kita diasah untuk menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Semakin banyak kita menghadapi penderitaan dan menang atas penderitaan tersebut, maka semakin matang pula-lah kita sebagai manusia. Jadi, bukan memaknai penderitaan sebagai suatu hal yang negative seperti yang biasa kita lakukan.



Lalu terdapat beberapa pertanyaan,
• “Kapan pendertiaan ini berakhir?”
Sang narasumber mengatakan bahwa kehidupan dan penderitaan merupakan satu paket. Jadi, selama kita masih memiliki kehidupan selama itu pula kita akan menghadapi berbagai penderitaan. Maka dari itu cobalah maknai penderitaan itu BUKAN sebagai sesuatu yang negate melainkan sebagai PUPUK yang me “nyubur”kan hidup kita.
• “Bagimana kaitannya dengan keimanan? Apakah kadar keimanan seseorang dapat mempengaruhi pemaknaan penderitaan pada dirinya? (seperti contoh, orang yang memiliki keimanan tinggi cenderung memaknai penderitaan merupakan sesuatu hal yang kecil dan tidak perlu dibesar-besarkan serta dapat diatasi)”
Sang narasumber mengatakan bahwa kadar keimanan seseorang berpengaruh terhadap pemaknaan penderitaan dalam dirinya. Keimanan diartikan sebagai suatu orientasi, dimana keimanan yang kuat berarti dirinya memiliki orientasi yang kuat atas Tuhan.
Mari kita contohkan pada hal yang kecil. Seorang ibu memiliki anak dan dirinya berorientasi atas anaknya. Jadi pada saat mungkin anaknya tidak dapat minum susu, si ibu akan menganggap bahwa penderitaan susahnya membeli susu itu merupakan hal yang kecil, dan dapat diatasi karena ia memiliki orientasi pada anaknya bagaimana agar anaknya dapat minum susu. Akhirnya si ibu mati-matian mencari uang untuk dapat membeli susu untuk anaknya dengan mengecilkan makna penderitaan itu sendiri.
Bagaimana jika orientasi seseorang adalah Tuhan? Orang yang berorientasi kepada Tuhan akan melakukan sesuatu yang lebih dibandingkan jika orientasinya pada seorang anak. Dia akan berusaha lebih kuat dan mengecilkan makna penderitaan tersebut karena dia yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah padanya. Seperti diceritakan bahwa tidak sedikit orang yang memiliki orientasi (keimanan) yang tinggi terhadap Tuhan memaknai suatu penderitaan sebagai suatu berkat dan mensyukurinya (jadi bukan hanya mngecilkan makna penderitaan itu sendiri saja). Dimana ketika mereka mengalami penderitaan yang sangat besar (kalau orang pada umumnya merasa hal itu merupakan bencana), orang-orang yang memiliki keimanan tinggi tersebut tetap tampak “anggun”. Tidak tampak dari raut mukanya bahwa ia sedang mengalami masalah atau penderitaan. Namun yang tampak wajah yang penuh sukacita 
Inilah sedikit sharing yang bisa saya berikan. So, silahkan Anda memilh mau bersikap seperti apa atas penderitaan yang Anda hadapi….

Sumber: disadur dari program MotivaTalk di M&HTV

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.